Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Ya…siapa yang tidak tahu dengan salah satu pahlawan besar yang dimiliki republik ini. Kisah heroik dan perjuangannya dalam memimpin gerilya melawan agresi militer Belanda telah menginspirasi banyak orang yang hidup setelahnya. Dalam kondisi sakit parah karena penyakit tuberkulosis, beliau lebih memilih tetap berada bersama para pasukanya daripada berada di ranjang rumah sakit. Dalam kondisi sakit dan ditandu, Soedirman bersama pasukanya terus berpindah-pindah tempat untuk mengobarkan perlawanan melawan agresi militer Belanda yang kala itu berhasil menduduki Ibu Kota Yogyakarta dan bahkan berhasil menangkap presiden Soekarno. Di bawah kepemimpinanya dan dibantu oleh beberapa tokoh baik sipil maupun militer, TNI saat itu mampu melakukan “decisive action” atau aksi yang sangat menentukan dalam langkah perjuangan kemerdekaan Indonesia di kancah internasional. Saat itu, pada 1 Maret 1949, TNI berhasil menduduki kembali kota Yogyakarta selama beberapa jam untuk membutikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada. Peristiwa tersebut sekarang kita kenal sebagai peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949”.
( Wajah Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 )
Namun siapa sangka, dibalik kegigihan, kecakapan, dan keikhlasan Jenderal Soedirman sebagai pemimpin tertinggi TNI, jiwa kepemimpinanya sudah jauh terbentuk sejak kecil. Siapa sangka jika Panglima Besar TNI pertama sekaligus yang termuda itu ( 29 tahun ) sudah terlebih dahulu digembleng di kepanduan Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah.
Hizbul Wathan sendiri merupakan gerakan kepaduan cinta Tanah Air yang lahir sejak 1918. Artinya, ketika kalangan umat Islam kala itu belum mengenal pergerakan organisasi cinta Tanah Air dan kepanduan, Muhammadiyah sudah melahirkannya. Di Hizbul Wathan, sosok jenderal berbintang lima itu termasuk pembina sekaligus aktivis. Di Hizbul Wathan Soedirman menyenyam bekal-bekal kepemimpinan seperti bekerja dalam kelompok, berbicara di depan banyak orang, baris berbaris, ilmu alam, ilmu survival. Dasar-dasar kepempipinan yang ia peroleh dari Hizbul Wathan itulah yang nantinya sangat membantu Soedirman dalam karir militernya. Di Hizbul Wathan pulalah karakter dan mental baja Soedirman kian terasah. Salah satunya ialah Soedirman pernah menggembleng para calon kader dan aktivis Hizbul Wathan di dinginya pegunungan daerah Batu Raden. Tujuan Soedirman saat itu ialah, agar setiap mereka sadar akan betapa kecilnya manusia di hadapan Tuhan YME. Sekuat apapun manusia berusaha, tetap ia harus menyerahkan ujung pangkal usahanya itu pada kehendak Allah SWT.
(Kepanduan Hizbul Wathan di SD Muhammadiyah Kauman )
Sejak masa kecilnya di Cilacap, Soedirman memang hidup di lingkungan, keluarga, dan kader Muhammadiyah. Karena itu, sosoknya memang sudah ada di dalam didikan sekolah mengaji metode Quran . Jenderal yang lahir pada 24 Januari 1924 itu dulunya pernah mengajar di HIS Muhammadiyah dan pernah menjadi kepada sekolah HIS Muhammadiyah. Karena hal itu pulalah tak salah jika Soedriman termasuk sebagai kader utama pergerakan Muhammadiyah.
Bekal kepempinan yang Soedirman dan ilmu agama yang ia peroleh di lingkungan Muhammadiyah telah menjadikanya sebagai seorang pemimpin yang tak hanya cakap, cerdas, bermental baja, tetapi juga seorang pemimpin yang saleh, ikhlas, dan zuhud. Karakter pemimpin seperti itulah yang akhirnya mengantarkanya ke pucuk pimpinan tertinggi angkatan bersenjata republik Indonesia dalam usia yang masih sangat muda. Tak hanya sampai disitu, sifat rela berkorban dan pengabdian luhur Soedirman kepada tanah air terbukti mampu mengalahkan segala rintangan yang ia hadapi selama memimpin perang gerilya. Sampai pada akhirnya, kegigihan Soedirman bersama para pejuang TNI mampu mengantarkan bangsa ini ke gerbang kemerdekaan yang susungguhnya.
Pada rangkaian selanjutnya, setelah Indonesia melakukan perjuangan militer maupun melalui meja perundingan yang gigih di dunia internasional, barulah pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Kemudian, pada 16 Agustus 2005, atau tepatnya sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia,Menteri luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot, dalam pidato resminya di Gedung Departemen Luar Negeri menyampaikan pidato pengakuan pemerintah Belanda bahwasanya kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
( Jenderal soedirman kembali dari gerilya )
Meski sang Jenderal tak berumur panjang karena pada akhirnya wafat pada 29 Januari 1950, namun ia telah mewariskan begitu banyak hal pada bangsa ini. Ia adalah salah satu peletak sejarah manisnya kemerdekaan yang bisa kita rasakan sampai saat ini. Meski tak perlu berperang, namun tugas kita di era modern seperti sekarang ini ialah meneruskan dan meneladani perjuangan Jenderal Soedirman. Jenderal Soedirman seharusnya bisa menjadi role model para pemimpin baik tingkat rumah tangga sampai tingkat lembaga negara. Meski terpisah jaman dengan generasi saat ini, namun karakter Soedirman yang tegas, ikhlas, saleh, rela berkorban dan siap bela tanah air harus tetap diteruskan. Dari semua artikel ini, dapat disimpulkan bahwa, karakter Jenderal Soedirman dapat disamakan dengan oasis/ mata air yang tak habis habisnya kita keruk sebagai sumber inspirasi maupun sumber keteladanan.
Oleh : Budi Prasetyono ( Admin )
Sumber : wikipedia.org , Republika.co.id